Sepertinya akrobat di dunia pendidikan belum akan berhenti. Setelah hiruk-pikuk penggantian kurikulum lama (KTSP) menjadi kurikulum baru (K-2013) yang penuh dengan ‘drama’, implementasi K-2013 yang sarat dengan ‘cacat’ serta tak kunjung ada regulasi yang mengatur guru terdampak K-2013, kini kita disuguhi dengan akrobat yang lain. Yaitu penghapusan kelas akselerasi.
Selama ini kelas akselerasi dinilai cukup bergengsi, selain menjanjikan masa studi yang lebih pendek juga dicitrakan masyarakat sebagai kelas elit, kelasnya anak-anak pintar. Peminat kelas inipun berjibum, sehingga seleksi masuk cukup ketat. Tidak heran jika kelas ini berisi anak-anak yang menonjol dalam bidang tertentu.
Masa studi untuk kelas normal untuk jenjang SD, SMP dan SMA adalah 6, 3 dan 3 tahun. Sedangkan untuk kelas akselerasi untuk jenjang yang sama mempunyai masa studi yang lebih pendek yaitu 5, 2 dan 2 tahun. Sehingga secara akumulasi bagi siswa program ini menghemat masa studi selama 3 tahun.
Namun, seiring berjalannya waktu program ini dinilai Kemdikbud mempunyai banyak kelemahan, sehingga diwacanakan akan dihapus. Alasan yang dikemukakan oleh Kemdikbud adalah selama ini kelas akselerasi menampung siswa yang ‘hanya’ pintar dalam mata pelajaran tertentu, namun kurang pada mata pelajaran yang lain. Sedangkan dalam K-2013 mata pelajaran satu dengan yang lain saling terkait. Siswa disebut berprestasi jika menguasai seluruh mata pelajaran, bukan pada mata pelajaran tertentu (JP, 17/01).
Dari wacana itu, sulit untuk tidak mengatakan bahwa kebijakan pendidikan di Indonesia sebagai trial and error alias coba-coba. Kemdikbud cenderung dengan gampang mengganti kebijakan tanpa suatu kajian yang mendalam. Penulis yakin, wacana penghapusan kelas akselerasi ini tanpa didahului kajian yang mendalam setidaknya hingga saat ini, termasuk pada kebijakan-kebijakan lain.
Menurut hemat penulis, program kelas akselerasi sebenarnya cukup bagus. Paradigma bahwa anak berprestasi adalah yang menguasai seluruh mata pelajaran adalah bentuk pengingkaran kemampuan individu. Dimanapun siswa jelas mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dari lahir sebelum siswa memperoleh polesan pendidikanpun, anak sudah membawa bakat dan potensi yang berbeda. Jika anak-anak seperti ini tidak terwadahi dengan tepat, maka potensi itu jelas tidak akan berkembang. Kalau diajar dalam kelas normal jelas akan terjadi kebuntuan, karena pola pikir anak-anak pintar ini sudah beberapa langkah kedepan dibanding anak-anak mayoritas di kelas.
Wacana penghapusan kelas akselerasi ini juga bisa dikatakan sebagai kebijakan setengah hati. Terbukti pada jenjang SMA bagi anak yang cerdas, akan diperbolehkan mengikuti perkuliahan bidang ilmu tertentu dengan syarat anak sudah menuntaskan mata pelajaran tersebut dalam waktu dua tahun. Nah pada tahun ketiga inilah siswa dapat melahap materi perkuliahan, dan juga mendapat nilai nilai resmi yang merupakan tabungan nilai jika yang bersangkutan kuliah nanti.
Banyak pertanyaan yang belum terjawab terkait dengan trial and error ini. Siapa yang berhak memberikan materi perkuliahan, apakah guru di SMA-nya atau dosen yang ditunjuk? Lalu bagaimana kriteria siswa yang berhak mendapatkan materi perkuliahan ini? Hem, benar-benar kebijakan yang ‘abu-abu’.
Ujung-ujungnya adalah kasihan anak-anak potensial ini, sudah tidak mendapat wadah yang layak malah dijadikan korban ujicoba sebuah kebijakan (mr.poor12).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar