Virus imunodifisiensi manusia[1] (
bahasa Inggris:
human immunodeficiency virus;
HIV ) adalah suatu
virus yang dapat menyebabkan penyakit
AIDS.
[2] Virus ini menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Tanpa pengobatan, seorang dengan HIV bisa bertahan hidup selama 9-11 tahun setelah terinfeksi, tergantung tipenya. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun.
[2] Penyaluran virus HIV bisa melalui penyaluran
Semen (reproduksi),
Darah, cairan vagina, dan ASI. HIV bekerja dengan membunuh sel-sel penting yang dibutuhkan oleh manusia, salah satunya adalah
Sel T pembantu,
Makrofaga,
Sel dendritik. Ini menyebabkan penurunan pada angka CD4 Sel T.
Di tahun 2014, the Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS) memberikan rapor merah kepada Indonesia sehubungan penanggulangan HIV/AIDS. Pasien baru meningkat 47 persen sejak 2005. Kematian akibat AIDS di Indonesia masih tinggi, karena hanya 8 persen Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang mendapatkan pengobatan obat antiretroviral (ARV).
[3]
Pada tahun 1983, Jean Claude Chermann dan
Françoise Barré-Sinoussi dari
Perancis berhasil mengisolasi HIV untuk pertama kalinya dari seorang penderita sindrom
limfadenopati.
[4] Pada awalnya, virus itu disebut ALV (
lymphadenopathy-associated virus)
[5] Bersama dengan
Luc Montagnier, mereka membuktikan bahwa virus tersebut merupakan penyebab
AIDS.
[5] Pada awal tahun 1984,
Robert Gallo dari
Amerika Serikat juga meneliti tentang virus penyebab AIDS yang disebut HTLV-III.
[4][6] Setelah diteliti lebih lanjut, terbukti bahwa ALV dan HTLV-III merupakan virus yang sama dan pada tahun 1986, istilah yang digunakan untuk menyebut virus tersebut adalah HIV, atau lebih spesifik lagi disebut HIV-1.
[7]
Tidak lama setelah HIV-1 ditemukan, suatu subtipe baru ditemukan di
Portugal dari pasien yang berasal dari
Afrika Baratdan kemudian disebut HIV-2.
[4] Melalui kloning dan analisis sekuens (susunan genetik), HIV-2 memiliki perbedaan sebesar 55% dari HIV-1 dan secara antigenik berbeda.
[4] Perbedaan terbesar lainnya antara kedua strain (galur) virus tersebut terletak pada glikoprotein selubung.
[4] Penelitian lanjutan memperkirakan bahwa HIV-2 berasal dari SIV (retrovirus yang menginfeksi
primata) karena adanya kemiripan sekuens dan reaksi silang antara antibodi terhadap kedua jenis virus tersebut.
[4]
Kedua spesies HIV yang menginfeksi manusia (HIV-1 dan -2) pada mulanya berasal dari Afrika barat dan tengah, berpindah dari
primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai
zoonosis.
[8] HIV-1 merupakan hasil evolusi dari
simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies
simpanse,
Pan troglodyte troglodyte. Sedangkan, HIV-2 merupakan spesies virus hasil evolusi strain SIV yang berbeda (SIVsmm), ditemukan pada
Sooty mangabey,
monyet dunia lama Guinea-Bissau.
[8] Sebagian besar infeksi HIV di dunia disebabkan oleh HIV-1 karena spesies virus ini lebih virulen dan lebih mudah menular dibandingkan HIV-2.
[8]Sedangkan, HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat.
[8]
Berdasarkan susunan genetiknya, HIV-1 dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu M, N, dan O.
[9] Kelompok HIV-1 M terdiri dari 16 subtipe yang berbeda.
[9] Sementara pada kelompok N dan O belum diketahui secara jelas jumlah subtipe virus yang tergabung di dalamnya.
[9] Namun, kedua kelompok tersebut memiliki kekerabatan dengan SIV dari simpanse.
[9] HIV-2 memiliki 8 jenis subtipe yang diduga berasal dari
Sooty mangabey yang berbeda-beda.
[9]
Apabila beberapa virus HIV dengan subtipe yang berbeda menginfeksi satu individu yang sama, maka akan terjadi bentuk rekombinan sirkulasi
(circulating recombinant forms - CRF)
[10] (
bahasa Inggris:
circulating recombinant form, CRF). Bagian dari genom beberapa subtipe HIV yang berbeda akan bergabung dan membentuk satu genom utuh yang baru.
[11] Bentuk rekombinan yang pertama kali ditemukan adalah rekombinan AG dari Afrika tengah dan barat, kemudian rekombinan AGI dari
Yunani dan
Siprus, kemudian rekombinan AB dari
Rusia dan
AE dari
Asia tenggara.
[11] Dari seluruh infeksi HIV yang terjadi di dunia, sebanyak 47% kasus disebabkan oleh subtipe C, 27% berupa CRF02_AG, 12,3% berupa subtipe B, 5.3% adalah subtipe D dan 3.2% merupakan CRF AE, sedangkan sisanya berasal dari subtipe dan CRF lain.
[11]
HIV memiliki diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (
spherical) hingga oval karena bentuk selubung yang menyelimuti partikel virus (virion).
[12] Selubung virus berasal dari membran sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipida.
[12] Di dalam selubung terdapat bagian yang disebut protein matriks.
[12]
Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan kapsid.
[13] Genom adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua kopi utas tunggal RNA.
[13] Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus dan melindungi genom.
[13]
Berbeda dengan sebagian besar retrovirus yang hanya memiliki tiga gen (
gag,
pol, dan
env), HIV memiliki enam gen tambahan (
vif, vpu, vpr, tat, ref, dan
nef).
[12] Gen-gen tersebut disandikan oleh RNA virus yang berukuran 9 kb.
[12]Kesembilan gen tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan fungsinya, yaitu gen penyandi protein struktural (Gag, Pol, Env), protein regulator (Tat, Rev), dan gen aksesoris (Vpu hanya pada HIV-1, Vpx hanya pada HIV-2; Vpr, Vif, Nef).
[13]
HIV dapat ditularkan melalui injeksi langsung ke aliran darah, serta kontak
membran mukosa atau jaringan yang terlukan dengan cairan tubuh tertentu yang berasal dari penderita HIV.
[21] Cairan tertentu itu meliputi
darah, semen, sekresi vagina, dan
ASI.
[21] Beberapa jalur penularan HIV yang telah diketahui adalah melalui hubungan seksual, dari ibu ke anak (perinatal), penggunaan obat-obatan intravena, transfusi dan
transplantasi, serta paparan pekerjaan.
[22]
Menurut data
WHO, pada tahun 1983-1995, sebanyak 70-80% penularan HIV dilakukan melalui hubungan heteroseksual, sedangkan 5-10% terjadi melalui hubungan homoseksual. Kontak seksual melalui vagina dan anal memiliki resiko yang lebih besar untuk menularkan HIV dibandingkan dengan kontak seks secara oral.
[23] Beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan resiko penularan melalui hubungan seksual adalah kehadiran
penyakit menular seksual,
kuantitas beban virus, penggunaan
douche. Seseorang yang menderita penyakit menular seksual lain (contohnya:
sifilis,
herpes genitali,
kencing nanah, dsb.) akan lebih mudah menerima dan menularkan HIV kepada orang lain yang berhubungan seksual dengannya.
[24] [25] Beban virus merupakan jumlah virus aktif yang ada di dalam tubuh. Penularah HIV tertinggi terjadi selama masa awal dan akhir infeksi HIV karena beban virus paling tinggi pada waku tersebut.
[25] Pada rentan waktu tersebut, beberapa orang hanya menimbulkan sedikit gejala atau bahkan tidak sama sekali.
[25] Penggunaan douche dapat meningkatkan resiko penularan HIV karena menghancurkan
bakteri baik di sekitar vagina dan anus yang memiliki fungsi proteksi.
[25] Selain itu, penggunaan douche setelah berhubungan seksual dapat menekan bakteri penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh dan mengakibatkan infeksi.
[25]
Pencegahan HIV melalui hubungan seksual dapat dilakukan dengan tidak berganti-ganti pasangan dan menggunakan
kondom.
[22] Cara pencegahan lainnya adalah dengan melakukan hubungan seks tanpa menimbulkan paparan cairan tubuh.
[24] Untuk menurunkan beban virus di dalam saluran kelamin dan darah, dapat digunakan terapi anti-retroviral.
[25]
Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui infeksi
in utero, saat proses persalinan, dan melalui pemberian ASI.
[22]Beberapa faktor maternal dan eksternal lainnya dapat mempengaruhi transmisi HIV ke bayi, di antaranya banyaknya virus dan sel imun pada trisemester pertama, kelahiran prematur, dan lain-lain.
[22] Penurunan sel imun (CD4+) pada ibu dan tingginya RNA virus dapat meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu ke anak. Selain itu, sebuah studi pada wanita hamil di Malawi dan AS juga menyebutkan bahwa kekurangan vitamin A dapat meningkatkan risiko infeksi HIV. Risiko penularan perinatal dapat dilakukan dengan persalinan secara caesar, tidak memberikan ASI, dan pemberian AZT pada masa akhir kehamilan dan setelah kelahiran bayi.
[22] Di sebagian negara berkembang, pencegahan pemberian ASI dari penderita HIV/AIDS kepada bayi menghadapi kesulitan karena harga susu formula sebagai pengganti relatif mahal.
[26] Selain itu, para ibu juga harus memiliki akses ke air bersih dan memahami cara mempersiapan susu formula yang tepat.
[26]
Cara efektif lain untuk penyebaran virus ini adalah melalui penggunaan
jarum atau
alat suntik yang terkontaminasi, terutama di negara-negara yang kesulitan dalam sterilisasi alat kesehatan.
[22] Bagi pengguna obat intravena (dimasukkan melalui
pembuluh darah), HIV dapat dicegah dengan menggunakan jarum dan alat suntik yang bersih.
[22] Penularan HIV melalui
transplantasi dan
transfusi hanya menjadi penyebab sebagian kecil kasus HIV di dunia (3-5%).
[22] Hal ini pun dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan produk darah dan transplan sebelum didonorkan dan menghindari donor yang memiliki resiko tinggi terinfeksi HIV.
[22]
Penularan dari pasien ke petugas kesehatan yang merawatnya juga sangat jarang terjadi (< 0.0001% dari keseluruhan kasus di dunia).
[22] Hal ini dicegah dengan memeberikan pengajaran atau edukasi kepada petugas kesehatan, pemakaian pakaian pelindung,
sarung tangan, dan pembuangan alat dan bahan yang telah terkontaminasi sesuai dengan prosedur.
[22]Pada tahun 2005, sempat diusulkan untuk melakukan
sunat dalam rangka pencegahan HIV. Namun menurut WHO, tindakan pencegahan tersebut masih terlalu awal untuk direkomendasikan.
[27]
Ada beberapa jalur penularan yang ditakutkan dapat menyebarkan HIV, yaitu melalui
ludah, gigitan
nyamuk, dan kontak sehari-hari (berjabat tangan, terekspos batuk dan bersin dari penderita HIV, menggunakan
toilet dan alat makan bersama,
berpelukan).
[21] Namun, CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) menyatakan bahwa aktivitas tersebut tidak mengakibatkan penularan HIV.
[21] Beberapa aktivitas lain yang sangat jarang menyebabkan penularan HIV adalah melalui gigitan manusia dan beberapa tipe ciuman tertentu.
[21]
Sub-Sahara Afrika tetap merupakan daerah yang paling parah terkena HIV di antara kaum perempuan hamil pada usia 15-24 tahun di sejumlah negara di sana. Ini diduga disebabkan oleh banyaknya
penyakit kelamin, praktik menoreh tubuh,
transfusi darah, dan buruknya tingkat
kesehatan dan
gizi di sana.
[28]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar